“LINGKUNGAN
HIDUP MENANGIS”
Khalil
Gibran Menulis:
Ketika aku duduk merenung dalam-dalam,
angin sepoi membelai dedahanan, dan terdengar pula desah bagaikan kesah anak
yatim yang tersesat. “Mengapa engkau mengeluh angin sepoi?” tanyaku. Angin
sepoi menjawab, “karena aku datang dari negeri yang berkilat-kilat dengan sinar
matahari dan benih-benih penyakit serta limbah mencemari pakaianku yang suci.
Dapatkah engkau menyalahkan aku yang sedih ini?”
Kemudian aku melihat kerak air mata pada
wajah-wajah bunga dan terdengar rintihnya yang lirih. Aku bertanya, “Mengapa
engkau menangis bunga-bunga yang manis?”
Sebuah kembang menengadahkan kepalanya
yang lembut sambil berbisik, “kami menangis karena manusia akan datang kemari
dan memotong kami, lalu menjual kami ke pasar kota”.
Kembang lain menambahkan, “ Malam hari
bila kami melayu, ia akan melemparkan kami pada tumpukan sampah. Kami menangis
karena tangan kejam manusia merenggut kami dari masyarakat kerabat kami”.
Kudengar anak sungai merintih seperti
janda yang meratapi kematian anaknya. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis
sungaiku yang jernih?” jawab sungtai itu, “karena aku dipkasa menuju ke negeri
tempat manusia memandang rendah diriku, dan tak mau meminumku, membuatku
sebagai pembersih sampah, mencemari kemurnianku dan mengubah kejernianku
menjadi kotor”.
Kudengar burung-burung berduka, lalu
kutanya, “Mengapa engkau menangis burungku yang cantik?” Seekor di antaranyqa
terbang mendekat, hinggap pada ujung dahan. Katanya, “Anak-anak Adam akan
segera datang ke padang ini dengan senjata yang mengerikan, hendak menyatakan
perang, seakan-akan kami ini musuhnya yang harus dibunuh. Kami sekarang akan
saling berpisah, karena kami tahu tak satupun di antara kami yang dapat
menghindari murka manusia. Ajal memburu terus kemana pu kami pergi”.
Matahari, terbit dari puncak gunung dan
menyepuh puncak-puncak pohon dengan rona mahkota. Aku memandang keindahan itu
dan bertanya dalam hati, “Mengapa manusia harus merusak karya alam?”
Adalah Khlil Gibran sang penyair Libanon
ini menggugah nurani manusia zaman ini, untuk mendenmgarkan tangisan dan
jeritan ala mini. Kita bisa menyaksikan sendiri hutan-hutan perawan yang begitu
angker dan tak pernah dimasuki manusia kini habis dibabat. Bukit-bukit dan
gunung-gunung botak digundul.
Dicatat
Ulang oleh Remy Elu.
SMA Seminari
St.Rafael Oepoi-Kupang 2002/2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar